Dalam setiap organisasi, tentu ada acuan atau pegangan yang digunakan dalam bertindak. Termasuk para pecinta alam di Indonesia, terdapat sebuah kode etik yang wajib diketahui para anggotanya. Kode etik pecinta alam ini nantinya akan dijadikan pegangan dalam bertindak atau berkegiatan di alam bebas.
Dengan adanya kode ini, diharapkan para pecinta alam dapat melakukan tindakan dengan benar kaitannya dengan kecintaan mereka pada alam. Kode ini secara garis besar berisi etika-etika yang harus dipatuhi serta berjanji akan melestarikan alam dan menjaganya, serta melaksanakan suatu bentuk pengabdian kepada negara.
Sejarah Pecinta Alam di Indonesia
Sebelum menelisik jauh ke dalam bunyi kode etik yang harus dipatuhi oleh para pecinta alam, terlebih dahulu diperkenalkan bagaimana asal muasal terbentuknya para pecinta alam di Indonesia. Secara garis besar, sejarah terbentuknya pecinta alam dapat dilihat sebagai berikut.
1. Perkumpulan Petjinta Alam
Perkumpulan Petjinta Alam yang terbentuk pada Oktober 1953 di Yogyakarta merupakan pencetus istilah “pecinta alam” bagi orang-orang yang gemar berkegiatan di alam. Pada awalnya, ada beberapa usulan yang dinilai kurang tepat untuk menamai kecintaan mereka pada alam, seperti istilah “penggemar alam” atau “pesuka alam”.
Namun salah satu pendiri PPA, Awibowo yang merupakan lulusan IPB kala itu menyanggah istilah-istilah tersebut dengan mengusulkan nama “Petjinta Alam”. Menurutnya, istilah tersebut lebih tepat karena lebih menggambarkan tak hanya suka pada alam namun, juga mengabdi pada bangsa dan negara.
2. Wanadri
Wanadri terbentuk pada Mei 1965 di Bandung, Jawa Barat. Wanadri memiliki anggota berupa orang-orang yang memiliki kecintaan pada kehidupan alam bebas. Meskipun begitu, mereka memiliki tujuan untuk mendidik para anggotanya agar menjadi manusia yang berdasar Pancasila sejati, percaya kekuatan sendiri, serta ulet, mandiri, dan tabah.
Organisasi inilah yang memprakarsai adanya Gladian Nasional yang menjadi pertemuan besar-besaran organisasi pecinta alam di seluruh Indonesia.
3. Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (MAPALA UI)
MAPALA berdiri pada Desember 1965 di Jakarta yang diprakarsai oleh mahasiswa pecinta alam di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pada awalnya, sudah ada mahasiswa-mahasiswa pecinta alam yang tersebar di beberapa fakultas. Namun, para mahasiswa tersebut tidak memiliki wadah yang menampung serta tidak terkoordinir.
Hingga akhirnya seorang mahasiswa bernama Soe Hok Gie mencetuskan ide untuk membentuk sebuah wadah yang menaungi kelompok-kelompok pecinta alam yang belum terkoordinir di lingkungan kampus UI.
Organisasi-organisasi yang sudah ada tersebut kemudian semakin berkembang dan memunculkan organisasi lain yang menambah ramai dunia para pecinta alam di Indonesia.
Sejarah Gladian Nasional Pecinta Alam dan Kode Etik Pecinta Alam di Indonesia
Jika diartikan secara harfiah, Gladian memiliki arti berlatih. Arti tersebut menjadi sebuah pegangan dalam penyelenggaraannya, yakni melakukan latihan dan bertukar pikiran dengan sesama peserta mengenai kegiatan-kegiatan di alam. Semua peserta akan berdiskusi serta bertukar informasi tanpa memandang kasta, sehingga suasana menjadi semakin akrab dengan kekeluargaan yang begitu erat.
Gladian Nasional merupakan salah satu acara yang mempertemukan seluruh pecinta alam yang ada di Indonesia secara besar-besaran, sekaligus menjadi ajang mempererat tali silaturahmi antar organisasi pecinta alam. Acara ini menjadi ajang bagi para pecinta alam untuk menambah serta meningkatkan keterampilan, pengetahuan, serta kemampuan saat melakukan aktivitas di alam bebas.
1. Gladian Nasional Ke-I
Bisa dibilang, cikal bakal adanya Gladian Nasional adalah penyelenggaraan Gladian Wanadri pada tahun 1970. Pada awalnya kegiatan ini memang dikhususkan untuk beberapa organisasi pecinta alam yang ada di wilayah Jawa Barat dan wilayah DKI saja. Namun, kegiatan ini ternyata mengundang minat peserta lain yang berada di luar daerah tersebut, seperti organisasi TMS 7 Malang.
Secara keseluruhan, acara ini diikuti oleh 109 orang dari 18 perhimpunan yang juga akhirnya memunculkan sebuah kesepakatan untuk melaksanakan acara yang sama untuk tahun-tahun selanjutnya sebagai ajang pertemuan organisasi-organisasi pecinta alam di seluruh Indonesia.
2. Gladian Nasional Ke-II
Keikutsertaannya dalam Gladian Nasional yang pertama, menjadikan TMS 7 Malang dipercaya sebagai penyelenggara Gladian Nasional Ke-II yang bertempat juga di Malang. Pada kegiatan yang kedua ini, mulai banyak peserta dari daerah lain yang sebelumnya tidak mengikuti, mulai dari ABC SMAN 1 Denpasar hingga RAC Lombok.
Pada Gladian Nasional Ke-II inilah cikal bakal kode etik pecinta alam mulai disusun. Acara yang diselenggarakan pada Desember 1970 di Batu dan Coban Rondo ini menjadi kegiatan pertemuan dengan cakupan peserta yang lebih luas dan lebih banyak.
3. Gladian Nasional Ke-III
Gladian Nasional Ke-III yang dilaksanakan di Pantai Carita, Banten pada bulan Desember 1972 dinilai sebagai kegiatan yang kurang berkesan menurut beberapa peserta yang mengikutinya. Hal ini disebabkan tidak adanya kegiatan yang disusun secara pasti. Acara hanya diisi dengan bermain-main di sekitar pantai serta adanya beberapa forum yang mengadakan diskusi.
4. Gladian Nasional Ke-IV
Sejarah diikrarkannya kode etik bagi para pecinta alam dimulai ketika kegiatan Gladian Nasional Pecinta Alam IV dilaksanakan. Kegiatan tersebut diadakan pada bulan Januari tahun 1974 di Pulau Kahyangan dan Tana Toraja dengan diikuti oleh 44 perhimpunan pecinta alam seluruh Indonesia. Penyelenggara kegiatan ini adalah Badan Kerjasama Club Antarmaja Pecinta Alam se-Ujung Pandang.
Karena menjadi momen diikrarkannya kode etik yang menjadi pedoman bagi para pecinta alam di Indonesia, Gladian Nasional Ke-IV sebagai gladian yang sangat bersejarah.
Isi Kode Etik Pecinta Alam Indonesia
Pada kenyataannya, kode etik yang menjadi pegangan para pecinta alam di seluruh Indonesia memiliki bunyi yang berbeda-beda dan terdapat beberapa versi. Meskipun begitu, jika dilihat isi dan hakikat semua versi tersebut adalah sama. Dengan begitu, versi mana pun yang digunakan akan memiliki kesamaan makna dan maksud yang ingin dituju.
Secara garis besar, isi kode etik yang menjadi pedoman bagi para pecinta alam di seluruh Indonesia bisa dilihat seperti di bawah ini.
Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Pecinta Alam Indonesia adalah bagian dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawab kepada Tuhan, bangsa, dan tanah air.
Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa pecinta alam adalah sebagian dari makhluk yang mencintai alam sebagai anugerah Yang Maha Kuasa.
Sesuai dengan hakikat di atas, kami dengan kesadaran
Menyatakan:
-
Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa
-
Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhannya
-
Mengabdi kepada bangsa dan tanah air
-
Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar serta menghargai manusia dan kerabatnya
-
Berusaha mempererat tali persaudaraan antara pecinta alam sesuai dengan asas pecinta alam
-
Berusaha saling membantu serta menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, bangsa, dan tanah air
-
Selesai
Kode etik yang telah disebutkan di atas saat ini masih sah menjadi kode etik yang digunakan oleh seluruh organisasi maupun perkumpulan pecinta alam di seluruh Indonesia.
Etika Lingkungan Hidup
Selain menggunakan kode etik pecinta alam yang telah disebutkan sebelumnya, para pecinta alam juga mengenal 3 etika lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan etika lingkungan hidup adalah pedoman yang menjadi petunjuk para pecinta alam dalam rangka mewujudkan moral yang baik dan menjadi upaya pengendalian alam agar tetap lestari.
Etika lingkungan hidup berlaku secara universal saat para pecinta alam melakukan kegiatan yang ada kaitannya dengan alam.
Bunyi etika lingkungan hidup tersebut adalah sebagai berikut.
- Take nothing but picture, yakni etika yang menyebutkan bahwasanya para pecinta alam dilarang mengambil apa pun ketika berkegiatan di alam kecuali foto.
- Leave nothing but footprint, yakni etika yang menyebutkan bahwasanya para pecinta alam dilarang meninggalkan apa pun kecuali jejak kakinya ketika berkegiatan.
- Kill nothing but time, merupakan etika terakhir yang berisi larangan melakukan pembunuhan kecuali membunuh waktu.
Pengetahuan mengenai pecinta alam sangat penting, terutama bagi Anda yang ingin bergabung dengan organisasi terkait.